Oleh Dr. Adi W Gunawan (Hipnoterapis & Penulis Buku)
Ibu
menempati posisi yang teramat penting dalam membesarkan dan mendidik
anak. Proses pendidikan, khususnya di aspek emosi, telah mulai dilakukan
oleh ibu, baik secara sadar atau tidak, sejak bayi dalam kandungan
hingga lahir dan terutama selama enam tahun pertama kehidupan anak.
Sejak
lahir bayi telah dibekali kemampuan atau kepekaan untuk merasakan
ketidaknyamanan/rasa sakit yang ia ungkapkan dengan tangisan. Respon ini
sifatnya protektif, penting bagi keselamatan hidup bayi, karena dengan
cara ini ia memberitahu orang lain di sekitarnya mengenai perasaan tidak
nyaman/sakit yang ia rasakan atau alami dan berharap orang di
sekitarnya akan segera datang membantu dan menghilangkan perasaan yang
mengganggu ini.
Tangis
bayi biasanya akan segera mendapat perhatian dari ibunya. Saat ibu
mampu memenuhi kebutuhannya, menghilangkan perasaan tidak nyaman atau
menghilangkan rasa sakit, tangis bayi reda dan ia akan kembali tenang.
Tangis
ini adalah komunikasi utama yang bayi gunakan dalam menyampaikan pesan
tertentu mengenai apa yang ia butuhkan. Misalnya, bila ia merasa dingin,
ibunya akan menyelimutinya. Bila ia buang air maka ibunya akan
membersihkan dan mengganti popoknya. Bila ia lapar atau haus maka ibu
akan memberi asi atau makan.
Setiap
kali bayi merasa tidak nyaman atau sakit maka tangisnya sudah lebih
dari cukup untuk bisa membuat ia mendapat apa yang dibutuhkan untuk
kesejahteraan dan terutama keselamatan hidupnya. Ibu yang memberi atau
memenuhi kebutuhan bayi, dalam hal ini, mewakili rasa aman, rasa nyaman,
dan kedamaian. Bayi yang tak berdaya ini hanya bisa mengandalkan dan
sepenuhnya bergantung kepada figur ibu untuk mengenali dan sekaligus
menyelesaikan setiap masalah yang membuatnya tidak nyaman/sakit.
Setiap
individu di sekitar bayi yang dapat segera memberi respon terhadap
tangis bayi dan memberi bantuan yang dibutuhkan bayi berperan sebagai
“ibu”.
Kadang,
dalam situasi tertentu, bayi bisa menangis dalam waktu yang cukup lama
sebelum mendapat perhatian atau bantuan dari ibunya. Dalam kondisi ini,
untuk bisa mendapat perhatian ibunya maka satu-satunya cara yang bisa
dilakukan bayi adalah menangis semakin keras. Gerakan tangan, kaki, dan
wajahnya menjadi semakin hebat, dan menunjukkan ia mengalami sesuatu
yang lebih dari sekedar perasaan tidak nyaman atau sakit, yaitu perasaan
takut.
Takut
adalah perasaan yang menggantikan perasaan tidak nyaman atau sakit bila
sumber perasaan tidak nyaman ini dirasa mengancam keselamatan hidup.
Selama ia tidak mendapat perhatian atau respon yang dibutuhkan maka bayi
akan terus menerus menangis. Tangisnya baru berhenti saat ibunya atau
siapa saja yang ada di sekitarnya datang memberi perhatian dan memenuhi
kebutuhannya.
Untuk
anak yang lebih besar, saat ia merasa takut, maka ia bisa melakukan
tindakan yang lebih positif yaitu berupaya menghindari atau menjauhi
sumber perasaan tidak nyaman atau sakit. Ia akan merangkak atau lari
menjauh ke tempat yang ia rasa aman. Anak cenderung akan bergerak
mendekati ibunya (atau figur ibu) untuk mendapat rasa aman, bila ia tahu
bisa mendapatkannya dari sosok ini. Perasaan takut ini akan terus ia
alami dan rasakan sampai ia benar-benar merasa aman.
Lebih
lanjut, setelah lebih besar, anak bisa merasakan emosi marah. Saat
merasa takut anak akan menghindar. Namun responnya berbeda saat ia
marah. Emosi marah mendorong anak untuk mengusir, menolak, atau bahkan
menghancurkan sumber masalahnya dengan menggunakan sumber daya yang ia
miliki atau yang ada dalam jangkauannya. Anak bisa berteriak, memukul
dengan tangan, atau memukul menggunakan benda tertentu dengan satu
tujuan yaitu segera menghilangkan penyebab rasa tidak nyaman atau sakit
yang ia alami. Saat bahaya sudah lewat anak kembali menjadi tenang dan
merasa nyaman. Ia belajar menggunakan emosi marah untuk tujuan
pertahanan diri.
Jadi,
dalam diri setiap insan ada tiga emosi utama yaitu perasaan tidak
nyaman, takut, dan marah, dengan peran dan fungsi yang spesifik untuk
menjaga kelangsungan hidup.
Rasa
tidak nyaman sering muncul dalam bentuk perasaan ditolak, kesepian, dan
terasing. Rasa takut berasal dari memori rasa tidak nyaman/sakit
membuat seseorang berusaha menghindari atau menjauhi sesuatu yang dirasa
atau dipersepsi sebagai bahaya. Takut dapat menyamar sebagai emosi
cemas, ngeri, atau panik. Ketiga emosi sebenarnya sama, yaitu takut,
namun dengan intensitas yang berbeda.
Emosi
marah, melindungi individu baik dengan menakuti-nakuti sumber masalah
agar menjauh atau pergi, atau menghilangkan secara pemanen, yang tampak
dalam tindakan agresif, sikap bermusuhan dan kebencian.
Dengan
demikian setiap emosi bermanfaat untuk memberdayakan individu dalam
mengatasi bahaya, baik yang nyata atau hanya persepsi, agar selamat.
Saat
emosi-emosi ini berhasil memenuhi peran dan fungsinya, tidak akan
muncul masalah. Saat anak merasa tidak nyaman atau sakit, ia menangis
dan mendapat perhatian dan bantuan. Saat merasa takut, ia lari menjauh
atau menghindari bahaya ke tempat aman. Jika dua kondisi ini tidak
mungkin, ia dapat menggunakan cara ketiga, marah, dan menghilangkan
sumber bahaya sehingga bisa kembali merasa aman dan nyaman.
Namun,
bila karena suatu hal emosi-emosi ini tidak dapat diungkap seperti yang
seharusnya akan timbul masalah. Setiap emosi selalu disertai perubahan
fisiologis yang spesifik untuk menjalankan fungsi emosi ini. Dengan
demikian setiap emosi yang tidak dapat diungkap, tidak mendapat saluran
keluar yang semestinya, mengakibatkan gangguan baik secara mental maupun
fisik.
Peran Ibu Dan Gangguan Emosi
Dalam
kondisi normal, jika tidak berhasil mendapatkan bantuan, saat ia merasa
tidak nyaman atau sakit, anak akan menggunakan rasa takut untuk
menghindar atau dapat menjadi marah dan mengusir atau menghilangkan
sumber masalah.
Pertanyaan
penting dan menarik untuk dikaji bersama yaitu apa yang akan terjadi
bila ternyata sumber rasa tidak nyaman/sakit atau bahaya adalah ibunya
sendiri. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan ibu adalah siapa saja
yang punya hubungan dengan anak dan menjalankan fungsi/peran ibu yaitu
menjaga dan mengasuh anak (misal: ayah, kakek, nenek, paman, tante,
kakak, pembantu, atau baby sitter).
Bila
yang menjadi sumber masalah adalah ibu, atau orang yang berperan
sebagai ibu, maka anak akan bingung untuk memberi respon emosi yang
tepat. Emosi yang seharusnya berguna untuk melidungi anak, kini tidak
lagi dapat menjalankan fungsinya. Tangisan hanya akan membuat anak lebih
menderita, sehingga rasa tidak nyaman ini tidak dapat ia ungkap.
Anak
tidak dapat menggunakan emosi takut untuk lari atau menghindar karena
ibu yang seharusnya memberi rasa aman kini justru menjadi sumber
masalah. Tidak ada lagi tempat yang aman untuk berlindung atau mendapat
perlindungan.
Demikian
pula dengan emosi marah. Anak tidak dapat menggunakan emosi ini untuk
menghilangkan sumber masalahnya karena, walau misalnya bisa ia lakukan,
dengan melakukan hal ini pada saat bersamaan ia menghilangkan sumber
rasa amannya. Satu-satunya jalan keluar bagi anak dalam situasi dan
kondisi ini adalah memblok, menekan emosi yang ia rasakan atau alami.
Emosi,
walau telah berhasil ditekan dan seolah telah hilang, ibarat api dalam
sekam. Api emosi ini tetap menyala walau tidak disadari dan
mengakibatkan berbagai masalah baik di aspek fisik dan atau
mental/emosi.
Frederick
“Fritz” Perls, bapak Gestalt, pernah mengatakan bahwa emosi memiliki
rentang hidup yang meliputi satu kelahiran dan satu kematian, satu awal
dan satu akhir. Perls juga menambahkan bahwa hanya ada dua cara untuk
mengungkap emosi. Pertama, ke arah luar, dalam bentuk ekspresi verbal
atau tindakan. Kedua, bila emosi ditekan sedemikian rupa sehingga tidak
bisa diungkap, ia akan masuk ke dalam dan terekspresi melalui respon
fisik (psikosomatis) dan atau gangguan mental/emosi. Emosi yang tidak
berhasil diproses tuntas akan terus tinggal di dalam diri kita,
menimbulkan masalah, sampai mereka berhasil diproses tuntas.
Dari
riset di bidang neurosains di ketahui bahwa wilayah orbito-frontal,
yang terletak di bawah lobus pre-frontal memainkan peran penting dalam
kedali emosi. Schore (2001a) menamakan wilayah otak ini sebagai “Senior
Executive” dari interaksi sosial, berperan dalam mengatur dan
mengendalikan perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan
emosi.
Schore
(2000) juga menyatakan bahwa kedekatan hubungan anak dan ibu secara
emosi memengaruhi pembentukan mekanisme mengatasi stres di otak kanan
anak. Hal ini tampak pada wilayah orbito frontal atau “Senior Executive”
yang sangat berkembang di wilayah otak sebelah kanan, dan sangat
terlibat dalam pengolahan emosi. Jika wilayah ini tidak berkembang
optimal atau mengalami gangguan perkembangan di tahun-tahun awal
kehidupan akan sangat memengaruhi perilaku sosial dan moral di kemudian
hari.
Otak
sebelah kanan berperan aktif saat kita berusaha memahami emosi atau
perasaan orang lain, saat berkomunikasi, melalui kontak mata, pemaknaan
ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan pergeseran halus kondisi pikiran dan
perasaan yang terjadi atau dialami orang lain.
Ibu
membantu perkembangan dan pertumbuhan bayi yang masih kecil melalui
peran yang oleh Stern (1985) disebut dengan “self regulating other”.
Dalam hal ini ibu berperan dan bertindak sebagai pihak yang
memperhatikan, menyediakan, dan memenuhi kebutuhan anak, sejalan dengan
ekspresi afeksi anak.
Peran
ini terjadi melalui interaksi antara ibu dan bayi. Saat bayi menangis,
karena merasa tidak nyaman atau sakit, dan ibunya memberi perhatian dan
respon dalam bentuk menggendong, memeluk, serta menenangkannya, baik
secara fisik dan emosi, dan juga memberi stimulasi.
Saya
teringat salah satu topik bahasan yang saya dapatkan saat mengikuti
pelatihan dan sertifikasi neurofeedback di Los Angeles beberapa bulan
lalu. Sejalan dengan uraian Schore dan Stern, dalam upaya membantu
klien, baik anak atau dewasa, lebih mampu meregulasi emosi mereka maka
yang dilatih dengan neurofeedback adalah wilayah otak kanan terlebih
dahulu baru setelah itu wilayah otak lainnya.